Poligami dan Monogami
POLIGAMI dan MONOGAMI
Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.
Dalam lingkungan yang berpoligami,Rosulullah SAW melakukan monogami bersama istri tunggalnya Khadijah binti Khuwalid ra, dan itu berlangsung selama 25 tahun, dari tahun 595 M sampai 620 M (sampai Khadijah binti Khuwalid ra meninggal dunia).
Saat menikah usia Rasulullah saw adalah 25 tahun sedangkan Khadijah binti Khuwalid ra berusia 40 th.
Pada masa perang, saat itu dibutuhkan perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang, sehingga turunlah surah An-Nisa’ (4): ayat 3 menyatakan,
Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja … (surah An-Nisa’ (4): ayat 3)
Selain turun ayat tersebut, juga turun surah An-Nisa’ (4): ayat 129 menyatakan,
Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, …. (surah An-Nisa’ (4): ayat 129)
Ayat ini menegaskan bahwa sesungguhnya suami tidak akan dapat berlaku adil bila melakukan poligami, dan itu penegasan dari Allah SWT sendiri melalui ayat tersebut.
Namun kenapa Allah SWT tetap membuka saluran tersebut, padahal jelas nantinya tidak dapat berlaku adil ?.
Disinilah keistimewaan Agama Islam sebagai agama yang universal, karena selalu menyiapkan berbagai “saluran darurat”.
Sehingga saluran poligami tetap dibuka sebagaimana surah An-Nisa ayat 3 tersebut, dan hanya dibenarkan secara syar’i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat untuk memberi perlindungan terhadap janda mati dan anak-anak yatim serta tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman (Tafsir al-Manar, 4/287).
Pada tahun 620 M (tahun ke 10 kenabian Rosulullah saw) #Khadijah binti Khuwalid ra meninggal dunia, dimana 3 hari sebelumnya Abi Talib (pengasuh Rasulullah saat kecil, yang juga ayah Ali bin Abi Thalib ra) meninggal dunia.
Umat Islam menyebut tahun ke sepuluh kenabian Muhammad saw itu sebagai tahun kesedihan (Am al-Khuzn). Pada tahun tersebut Rasulullah juga mengalami peristiwa Isra Mikraj.
Dari perkawinan dengan Khadijah binti Khuwalid ra, Nabi saw dikaruniai dua anak laki-laki (Qasim dan Abdullah, yang dijuluki at-Tayyib dan at-Tahir) dan empat anak perempuan (Ruqayyah, Zainab, Ummu Kalsum, dan yang bungsu Fatimah).
Qasim meninggal sebelum mencapai umur 2 tahun, sedangkan Abdullah meninggal dalam usia lebih muda lagi.
Anak-anak Nabi saw yang masih hidup perempuan semua.
Sepintas mengenai perkawinan anak-anak Nabi Muhammad saw diuraikan berikut ini.
Zainab menikah dengan Abul As bin Rabi’ bin Abdul Syams.
Ruqayyah dan Ummu Kalsum masing-masing menikah dengan Utbah dan Utaibah, keduanya anak-anak Abu Lahab.
Sesudah kedatangan Islam, Abu Lahab memerintahkan kedua anaknya untuk menceraikan kedua putri #Muhammad saw tersebut.
Tentu saja Nabi saw cukup sedih dengan kejadian ini.
Nabi saw baru terhibur ketika Ruqayyah kemudian dikawini oleh Usman bin Affan, meskipun Ummu Kalsum (adik Ruqayyah) harus menjanda sampai berakhirnya Perang Badr.
Setelah Ruqayyah wafat, kemudian Usman bin Affan menikah dengan Ummu Kalsum.
Adapun putri bungsu Rasulullah saw, Fatimah menikah dengan Ali bin Abi Talib.
Anak-anak Nabi Muhammad saw sempat mengalami kedatangan Islam dan mereka memeluk Agama Islam serta ikut hijrah ke Madinah.
Kecuali Fatimah, semua anak-anaknya meninggal semasa Muhammad saw masih hidup, Fatimah sendiri meninggal 6 bulan setelah Nabi Muhammad saw wafat.
Sejak Istri Rasulullah saw, Khadijah binti Khuwalid ra wafat, Khalwah istri Usman bin Makhzum memperhatikan berbagai kebutuhan anggota keluarga Nabi saw.
Tahun 623 M (setelah 3 tahun Rasulullah saw menduda), Khalwah menganjurkan Nabi saw agar menikah lagi.
Saat itu Muhammad bertanya siapa yang harus ia nikahi ?.
Khalwah menyarankan Saudah binti Zam’ah, janda Sakran Umar al-Amiri, seorang sahabat yang pernah membawanya ke Habasyah.
Suami-istri Sakran-Saudah termasuk kelompok pengungsi pertama yang pulang kembali ke Mekah dari Habasya, dan Sakran meninggal tidak lama setelah itu.
Karena suaminya (Sakran) meninggal, maka Saudah tidak punya pilihan lain kecuali kembali ke keluarga setelah ditinggal mati suaminya.
Keluarga Saudah belum masuk Islam, sehingga apabila Saudah kembali ke keluarganya, maka ia akan disiksa seperti dialami orang-orang muslim lain yang tidak memiliki perlindungan.
Maka Nabi Muhammad saw menyetujui usulan Khalwah untuk menikahi Saudah agar menjadi terlindungi sekaligus terbebaskan dan tidak mengalami penderitaan.
Dalam kitab Ibn al-Atsir, poligami yang dilakukan Nabi adalah upaya transformasi sosial (lihat pada Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 108-179).
Poligami yang dilakukan Nabi saw untuk melindungi sekaligus membebaskan wanita-wanita tersebut.
Realitas bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa dilihat pada teks-teks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawinan Nabi.
Hampir seluruh Istri Nabi adalah janda yang ditinggal mati suaminya untuk dilindungi sekaligus dibebaskan, kecuali Aisyah binti Abu Bakar ra.
Dengan menelusuri kitab Jami’ al-Ushul (kompilasi dari enam kitab hadis ternama) karya Imam Ibn al-Atsir (544-606H), dapat ditemukan bahwa poligami Nabi adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu.
Lebih jauh Abduh menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar’i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat untuk memberi perlindungan terhadap janda mati dan anak-anak yatim serta tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman (Tafsir al-Manar, 4/287).
Dalam sebuah ungkapan Nabi saw menyatakan: “Barangsiapa yang mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas dan terputus” (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 168, nomor hadis: 9049).
Teks-teks hadist terkait poligami sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan, dan pengembalian pada prinsip keadilan.
Namun banyak ulama “cerdik” yang menyelewengkannya dengan hanya mengambil sepotong-sepotong teks untuk pembenaran perbuatannya atau pembenaran perbuatan beberapa orang tertentu yang berpengaruh baginya.
Nabi Muhammad saw dengan sangat tegas menolak poligami Ali bin Abi Thalib ra, dan teks hadis ini jarang disampaikan sebagian ulama, padahal teks ini diriwayatkan para ulama hadis terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah, berikut ini.
Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib ra.
Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: “Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga.” (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).
Fenomena yang terjadi saat ini marak poligami hanya sebuah trend dan untuk pamer ke khalayak bukan mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW.
Sekar Jayanti
Comments
Post a Comment